Kala Lelang Jabatan Jadi Ajang "Proyek Dagang Sapi"

 



Senjakala Di ajang kurusetra. 

Banyak korban berjatuhan saat penguasa kerajaan dan putra mahkota beradu siasat siapa yang layak duduk memangku jabatan. 

Di negeri ini, banyak jabatan kosong. Sementara, para empu-empu yang mumpuni masih duduk bersemedi menunggu titah penguasa memberi mandat.

Sayang, mandat itu tidak kunjung datang dan para empu hanya dapat berserah diri berjejer duduk di bangku panjang di bangsal mereka. 

Di negeri tersebut, tak ada yang gratis dalam percaturan untuk menduduki jabatan. Ada harga yang harus dibayar. Penguasa kerajaan serta putra mahkota  pantang rugi dan harus ada "sapi" atau kompensasi sebagai jasa guna mendapatkan jabatan itu. 

Untuk menghindari endusan pihak tertentu, penyerahan "sapi" sebagai suap  telah di atur dengan apik sehingga pelaksanaan lelang jabatan akan terkesan bersih.

Mengulas tentang "proyek dagang sapi" yang dijadikan judul opini. Istilah itu, menjadi sangat populer untuk menunjukkan praktik-praktik politik yang sarat dengan transaksi kekuasaan yang dalam prosesnya, selalu dibarengi dengan tawar-menawar dalam perhitungan politik dan ekonomi. 

Padahal, jika merujuk KBBI, apa yang salah dalam tawar-menawar?hal yang wajar dilakukan dalam berniaga!. Rupanya, karena tawar-menawar untuk mendapatkan jabatan itu dilakukan tersembunyi atau tertutup tanpa mempertimbangkan keberadaan para empu-empu yang layak dan ahli di bidangnya. 

Sementara untuk dagang sapi yang dilakukan secara tertutup sejatinya  kearifan lokal. Tradisi itu dari Sumatra Barat, khususnya Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota. Di masa silam, jual beli sapi dilakukan tertutup. Sang penjual dan pembeli memasukkan jari tangan ke sarung. Mereka tidak berbicara dengan bahasa mulut, tetapi bahasa isyarat, yakni gerak jari dalam sarung. Itulah proses tawar menawar dagang sapi di Minangkabau.

Konon, secara etis cara dagang sapi serupa itu dilakukan untuk menghormati pembeli pertama dan menjaga perasaan calon pembeli yang lain. Juga agar tawar-menawar tak didengar para sapi. Mereka hormati juga sapi-sapi itu sebelum berpindah tangan. Itulah menurut mereka cara dagang yang beretika tinggi. Secara pribadi penulis tidak tahu apakah tradisi dagang sapi serupa itu masih berlangsung. Terlebih, setelah makna konotasinya diambil alih oleh politik dan menjadi bercitra buruk.

Penulis hanya mengelus dada bagaimana perasaan para pedagang sapi di Minangkabau . Apakah protes atas pengambilalihan frasa dagang sapi dalam ranah jual beli jabatan?. Alangkah malangnya sapi-sapi itu. Alangkah kejamnya apa yang dilakukan penguasa dan putra mahkota kerajaan itu! 

Tidak adakah cara  yang lebih arif untuk menghormati para sapi dan pedagang sapi yang telah menjadi korban. Korban hinaan entitas politik dalam frasa jual beli jabatan yang dilakukan penguasa dan putra mahkota ! Padahal, kata itu bermula dari kearifan lokal, yakni: tentang proses dagang sapi yang unik. 

Tiba-tiba,  penulis tersadar dari lamunannya di atas bale-bale. Sambil menikmati seteguk kopi, penulis hanya bergumam semoga pembaca setia ruang warga  tidak  salah persepsi. Sebab, tulisan itu tidak ditujukan di Kabupaten Lampung Utara. Bagi penulis, semua pejabat di pemerintahan kabupaten itu adalah pejabat yang berintegritas, berdedikasi dan bertanggung jawab. Kalaupun ada yang mau melakukan hal itu, bisa jadi karena faktor -X. Jadi, tidak  ada praktek dagang sapi saat lelang atau untuk mendapatkan jabatan yang di gelar,  mungkin tidak.


OPINI : HARI SUPRIYONO